RESENSI FILM DILAN 1990
[Resensi Film] - DILAN 1990 (2018), Panglima Tempur yang Tak Jadi Tempur
Sutradara: Fajar Bustomi | Produser:
Ody Mulya Hidayat
Penulis: Pidi Baiq, Titien
Wattimena | Based on: Novel Dilan 1990
Pemeran: Iqbaal Ramadhan,
Vanesha Prescilla
Rumah Produksi: Falcon Pictures, Max
Pictures | Tanggal Rilis: 25 Januari 2018
Durasi: 110 menit | Genre:
Drama | Rating: 3.5/5
“Cemburu itu hanya untuk orang yang tidak percaya diri. Dan, sekarang aku
sedang tidak percaya diri.”
DILAN—sebuah film berlatar tahun 90-an yang
sebelumnya sudah beken dengan versi novelnya yang ditulis oleh Pidi
Baiq dan diterbitkan pertama kali pada tahun 2014. Kala itu, ketika
novelnya pertama kali diterbitkan dan entah sekarang sudah cetakan keberapa,
saya kurang tahu, fenomena demam Dilan ini sudah bisa dirasakan, meski tak
segencar ketika film Dilan dirilis sejak 25 Januari 2018 lalu.
Bayangkan saja, ketika ulasan ini saya tulis, film Dilan pada hari ke-24 sudah
mampu menarik penonton sebanyak5.472.532, hal itu membuat film ini
menjadi film paling sukses di tahun 2018, sekaligus menjadi film nomor dua
terlaris sepanjang masa. Dan, mungkin mempunyai peluang untuk menggeser Warkop
DKI Reborn Part I dari posisi film terlasir nomor satu sepanjang masa.
Film ini menceritakan kisah romansa anak
remaja SMA dengan segala problem khas remaja. Seperti saya dan teman-teman
ketahui, film ini berpusat pada dua karakter utama, yakni Dilan dan
Milea—jika di luar sana ada Romeo dan Juliet, dan di Indonesia sebelumnya
ada Rangga dan Cinta—nampaknya Dilan dan Milea akan menjadi ikon baru
sebagai relantionship goals di Indonesia. Ya, tentu saja,
siapa yang tak ingin dihujani kata-kata manis seperti Milea? Atau siapa yang
tak ingin mendapatkan pacar secantik Milea? Dan banyak lagi kondisi-kondisi yang
menyebabkan para penonton akan merasa senang jika mendapatkan pasangan siap
mati seperti Dilan, dan secantik Milea ini.
Kekurangan film dilan :
Pertama, hal yang sangat mengganjal bagi
saya adalah mengenai wardrobe—ketika tahun 1990 saya memang baru
lahir, jadi saya tidak tahu baju di tahun-tahun itu harusnya seperti apa, akan
tetapi, saya mempunyai cukup referensi film yang diproduksi di tahun-tahun 80
sampai 90-an, jadi cukup tahu apakah baju yang dipilih oleh tim wardrobe di
film Dilan ini sudah cukup representatif atau belum, dan menurut saya adalah
belum.
Yang kedua, selain wardrobe yang menjadi
perhatian saya adalah mengenai make up and hair do. Ada yang ingat
bagaimana bentuk rambut Nike Ardila ketika panjang? Atua style rambut
Nurul Arifin dan Dessy Ratnasari ketika muda? Yaps, mereka-mereka ini adalah
ikon di tahun 90-an, jika kita menilik kembali foto muda mereka, akan sangat
terlihat jelas, bahwa rambut cewek yang tren di masanya adalah cenderung
bervolume, dan ketika di film Dilan, gaya rambut karakter-karakter ceweknya
lagi-lagi sangat kekinian. Dan, hal ini pun juga terjadi kepada
karakter-karakter cowok yang ada di film Dilan, jadi hair do bisa
dibilang cukup gagal dalam merepresentasikan tahun 1990.
Ketiga, sebelumnya sudah saya sebutkan
bagian art, yaps, art department adalah salah satu
komponen utama dalam pembuatan sebuah film. Dan kali ini yang menjadi sorotan
saya adalah mengenai tulisan yang ada pada surat, buku puisi, dan tulisan
ketika Dilan membuat daftar siapa-siapa saja manusia yang mungkin akan jatuh
cinta kepada Milea. Kenapa? Apakah apa ada yang salah? Mungkin hal ini tidak
akan dipermasalahkan bagi sebagian besar orang, tapi bagi saya yang melihat
film tak hanya untuk sebagai hiburan semata, di sini saya temukan, mungkin kita
semua bisa lihat perbedaan tulisan tangan antara yang di surat, buku, dan
ketika Iqbaal sendiri menulis secara langsung. Saya bukan ingin menghina
tulisan tangan Iqbaal jelek, bukan seperti itu, tapi di dalam sebuah film itu
dikenal sebuah istilah continuity, atau kesinambungan piranti yang
ada di dalam sebuah film, hal ini meliputi tata letak ruangan, gaya rambut,
atau apapun itu yang ada di gambar. Jadi, untuk menimbulkan kesan yang menyatu,
antara scene yang masih berkaitan haruslah bersifat continuity.
Nah, ketika saya melihat gaya tulisan yang di sini diklaim sebagai tulisan
Iqbaal yang tak lain adalah Dilan, terlihat ketidaksamaan antara tulisan tangan
yang ada di surat dan tulisan ketika Iqbaal menuliskannya langsung. Maksud saya
begini, bagaimanapun tulisan tangan Iqbaal, apakah tidak lebih baik untuk tetap
Iqbaal yang menulis ketika menulis surat dan menulis puisi di buku puisi? Saya
tahu, mengenai tulisan tangan yang lebih bagus itu pasti bagian dari tim art yang
mempersiapkan, akan tetapi dengan adanya scene di mana Iqbaal
menulis langsung dan tulisannya ini berbeda, ini merusak feel film
yang telah dibangun karena cukup mengganggu.
Catatan terakhir dan tak kalah penting
dari poin-poin sebelumnya, ada satu scene yang sangat
mengganggu, sangat enggak banget menurut saya, dan bisa
membuat mood menonton down. Yaps, scene tersebut
adalah ketika Milea berkendara pulang dengan Ibunya Dilan—pertanyaan saya,
kenapa harus menggunakan bantuan CGI?
Kelebihan
film dilan :
Menurut
saya, sosok Iqbaal sebagai Dilan inilah yang mungkin menjadi satu-satunya
kekuatan di dalam film. Saya kurang tahu bagaimana sosok Dilan sesungguhnya
yang ada di dalam novel, karena menurut teman-teman yang sudah membaca novelnya
mereka mengatakan bahwa, Iqbaal kurang bad boy, Dilan itu gak ganteng,
Iqbaal terlalu baik mukanya, dll—tapi, saya tak akan membandingkan
fisik antara penggambaran Dilan di novel dan di film, karena mungkin perbedaan
ini sengaja dibuat untuk menyesuaikan kebutuhan pasar, kita mesti mengingat
bahwa dunia film adalah dunia industri, jadi tak mungkin membuat sesuatu untuk
sengaja tenggelam, bukan?
yang
menjadi kekuatan dalam film ini adalah alur cerita film itu sendiri. Meski
menurut saya kerapatan ceritanya kurang, sebagai film remaja Dilan merupakan film
yang sayang untuk dilewatkan. Jika penonton menanyakan kenapa konflik dalam
cerita tidak terlalu digali, memang benar bahwa pemicu konfilk dalam film ini
cukup banyak, akan tetapi selama film mulai hingga berakhir penonton tidak akan
melihat adanya klimaks dalam ceritanya. Hal ini sebenarnya sudah sering kita
lihat di film-film remaja lainnya, sebut saja salah satu film fenomenal di
tahun 90-an, Lupus—jika teman-teman pernah menonton film ini, hal yang sama
mengenai konflik yang tidak ada klimaksnya juga akan ditemukan dalam film
Lupus, seperti kita temukan di film Dilan.
Komentar
Posting Komentar